27 April, 2009

PAUD Berbasis Aqidah Islam Upaya Melahirkan Generasi Berkualitas




oleh Ir. Rezkiana Rahmayanti

Urgensi Pendidikan Anak Dini Usia

Rasulullah Swt bersabda uthlubul’ilma minalmahdi ilallakhdi yang artinya tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Hadits tersebut menekankan betapa pentingnya seseorang belajar sedini mungkin, bahkan sejak dalam buaian. Lantas bagaimana seorang bayi yang masih dalam buaian dapat menuntut ilmu? Sedangkan ia masih lemah, belum bisa bicara, berjalan, apalagi berpikir. Lagipula, bukankah akal seorang bayi belum sempurna? Inilah yang justru dituntunkan oleh Rasulullah Saw bahwa sejak anak dalam buaian pun, ia dapat menuntut ilmu. Tentu kesadaran akan perlunya belajar sejak usia dini ini tidak muncul dari si bayi yang ‘belum bisa apa-apa’, namun dimulai dari kesadaran orang tuanya untuk memberikan pembelajaran-pembelajaran kepada anaknya sejak dini. Karena pada dasarnya, ketika seorang manusia telah terlahir ke dunia ini, ia telah dilengkapi berbagai perangkat seperti panca indera dan akal untuk menyerap berbagai ilmu.

Inilah peletak dasar pentingnya pendidikan dini usia. Sejak dini anak harus diberikan berbagai ilmu (dalam bentuk berbagai rangsangan/stimulan). Mendidik anak pada usia ini ibarat membentuk ukiran di batu yang tidak akan mudah hilang, bahkan akan melekat selamanya. Artinya, pendidikan pada anak usia dini akan sangat melekat hingga anak dewasa. Pendidikan pada usia ini adalah peletak dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Keberhasilan pendidikan usia dini ini sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya.

Bagi anak, pendidikan yang tepat pada usia dini akan menjadi pondasi keberhasilannya pada masa yang akan datang. Ia akan menjadi sebuah individu yang cerdas, penuh percaya diri dan mampu mengarungi kehidupan dengan segala tantangannya dengan baik. Dia akan menjadi manusia yang berkualitas, berkepribadian kuat dan berguna bagi masyarakat.

Bagi orang tua, anak adalah tumpuan hari tua, tempat di mana orang tua bergantung ketika kelak usia sudah uzur. Anak adalah amanah yang harus dijaga, dirawat dan dididik semaksimal mungkin. Merawat, mendidik dan membesarkan anak adalah ladang pahala bagi orang tua yang akan dipanen kelak di akhirat. Ya, anak adalah tabungan bagi kehidupan akhirat orang tuanya. Jika berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang sholeh, akan menjadi jembatan bagi orang tuanya untuk mendapatkan surga. Rasulullah Saw bersabda yang artinya: "Bila seorang meninggal, terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: amal jariah, ilmu yg bermanfaat, dan anak yg shaleh yg

berdoa untuknya." (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Saw bertanya pada para sahabat: "Tahukah engkau siapakah orang yang mandul." Berkata para sahabat: "Orang yang mandul ialah orang yang tidak mempunyai anak." Lalu Rasulullah SAW berkata: "Orang yang mandul itu ialah orang yang mempunyai banyak anak, tetapi anak-anaknya itu tidak memberi kemanfaatan kepadanya sesudah ia meninggal dunia." (Maksud Al-Hadith )

Bagi umat, anak-anak adalah generasi pewaris dakwah. Anak-anak adalah pewaris perjuangan yang sedang kita laksanakan hari ini. Mereka akan dipertanggungjawabkan untuk meneruskan perjuangan suci, demi eksistensi kalimatullah di muka bumi. Di samping mendidik anak-anak menjadi anak yang sholeh, mereka harus diproses dengan rapi agar bersedia memikul dan melaksanakan tanggung-jawab dakwah dan jihad. Anak-anak adalah mad’u (orang yang diseru) yang perlu dibentuk melalui satu proses tarbiyah, yaitu proses penyucian diri, pembentukan pemahaman, kesadaran dan pembinaan kepribadian (syakhsiyah). Oleh karena itu kita dituntut untuk mendidik anak-anak melalui proses pendidikan Islami sejak dini.

Sedangkan bagi negara, anak adalah aset penerus masa depan bangsa dan negara. Merekalah yang akan menghantarkan bangsa ini menuju bangsa yang bermartabat dan diridloi Allah. Karena itu, pendidikan anak usia dini merupakan investasi pembangunan manusia yang amat penting bagi pembangunan sumber daya manusia berkualitas, demi masa depan lebih baik. Produktivitas bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan.

Pakar Gizi Prof. Dr Hidayat Syarief mengatakan, konsep holistik sumber daya manusia menegaskan bahwa kualitas SDM sangat ditentukan oleh kondisi pada saat manusia berupa janin dalam kandungan seorang ibu sampai dengan usia balita, anak dan remaja. Dengan demikian dalam konteks pembangunan sumber daya manusia kita dihadapkan pada agenda menyiapkan generasi masa depan yang mampu menjadi tumpuan umat dalam meneruskan pembangunan.

Jelaslah, mendidik anak dengan baik bukan saja untuk kepentingan masa depan anak itu sendiri atau untuk jaminan hari tua ayah dan ibunya, namun juga demi kemajuan bangsa dan negara serta umat secara keseluruhan. Karena itu, pendidikan anak usia dini tidak dapat dipandang sempit hanya demi kemaslahatan anak itu sendiri atau orang tuanya, melainkan untuk kepentingan yang jauh ke depan, demi kemajuan umat di dunia dan tabungan pahala di akhirat.

Pentingnya melakukan investasi untuk pengembangan anak usia dini, antara lain untuk membangun SDM yang berkemampuan intelegensia tinggi, berkepribadian dan berperilaku sosial yang baik serta mempunyai ketahanan mental dan psikososial yang kokoh. Terlebih lagi berbagai penelitian menyebutkan bahwa masa dini usia merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. Betapa tidak, sebanyak 50 persen kapabilitas kecerdasan manusia terjadi ketika anak berumur 4 tahun dan 80 persen telah terjadi ketika berumur 8 tahun. Ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya dan selanjutnya perkembangan otak akan mengalami stagnasi. Itulah kenapa masa ini dinamakan masa emas perkembangan (the golden age), karena setelah masa perkembangan ini lewat, berapa pun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu tidak akan mengalami peningkatan lagi. Disinilah pentingnya memulai pendidikan sejak usia dini, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni menuntut ilmu sejak dari buaian.

Tujuan Pendidikan Anak Dini Usia Berbasis Aqidah Islam

Tujuan pendidikan anak dini usia berbasis akidah Islam adalah membentuk anak yang berkepribadian islam, yaitu memiliki aqidah Islam sebagai landasan ketika berpikir dan bersikap didalam menjalani kehidupan. Anak yang memiliki kepribadian Islam adalah anak yang memiliki kelebihan dalam banyak hal, sehingga mereka bisa dikatakan sebagai Anak unggul. Anak unggul adalah anak yang sholeh/sholehah, cerdas,sehat dan pemimpin. Anak sholeh/ah adalah anak yang banyak melakukan amal yang diridloi oleh Allah SWT dan orang tuanya. Anak sholeh adalah anak yang menyenangkan orang tua dan semua orang di sekitarnya.. Anak yang sholeh memahami betul hakekat hidupnya didunia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nyam yang artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”(QS:Adz-dzariyat(51):56) ). Dengan kata lain, anak sholeh adalah anak yang bertaqwa (senantiasa melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi seluruh larangan-Nya termasuk menghiasi diri merka dengan akhlaq-akhlak mulia seperti jujur, bertutur kata yang sopan dan punya rasa malu. Sehingga anak yang sholeh akan menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak diridloi Allah seperti: terlibat narkoba, memperlihatkan aurat pada orang yang tidak berhak dan menghambur-hamburkan uang untuk kepuasan hawa nafsu. Sebagai orangtua, pastilah ibu menginginkan memiliki anak yang sholeh yang didalam alQur’an dikatakan sebagai ‘qurrata a’yun”, sebagimana do’a yang sering ibu lafadzkan setelah sholatnya ; “Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” (QS:Al-Furqam(25):74)

Anak cerdas adalah anak yang mau dan mampu melakukan segala sesuatu. Anak seperti ini memiliki tingkat berpikir yang melebihi anak pada umumnya dan mempunyai kelebihan dalam bidang-bidang tertentu sehingga menonjol di kalangan anak seusianya. Ia berani tampil dan menunjukkan kemampuan yang dimilikinya. Anak yang cerdas akan memiliki keahlian pada bidang yang digelutinya dan mampu menjawab tantangan zaman. Sehingga mereka tidaklah mudah dibohongi dan dikendalikan orang lain, bahkan mereka menjadi agen perubahan ditengah-tengah masyarakat untuk mengajak mereka kepada perubahan yang hakiki yaitu mengeluarkan manusia daripada kegelapan (kebodohan dan keterbelakangan) kepada cahaya (keimanan Islam dan kemajuan peradaban)

Anak sehat adalah anak yang memiliki fisik yang kuat, tidak mudah jatuh sakit, gesit dan enerjik. Anak seperti ini terbiasa makan makanan halal dan bergizi (sekalipun tidak harus mahal), mau berolahraga dan cukup beristirahat. Anak sehat adalah anak yang mampu melakukan segala aktivitas dengan sempurna tanpa ada hambatan fisik maupun mental. Anak yang sehat siap mengerahkan tenaganya untuk melakukan amal-amal yang baik termasuk menjadi pejuang yang mempertahankan kemuliaan Islam di muka bumi.

Pemimpin, anak yang menjadi pemimpin memiliki ciri-ciri: pemberani, amanah, bertanggung jawab dan melindungi yang lemah. Pada saat menjadi pemimpin mereka tidak berlaku zholim kepada orang yang dipimpinnya, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kesulitan yang dihdapi rakyatnya. menjadi pelayan ummat (mendahulukan kepentingan orang banyak dari kepentingan pribadi), mereka berani mengambil keputusan yang benar dan tepat pada saat kritis Sosok pemimpin seperti inilah yang dirindukan oleh bangsa ini untuk mengeluarkan negeri ini dari kondisi yang semrawut/ibarat benang kusut.

Dengan demikian anak unggul adalah anak yang terarah cara berpikir dan bersikapnya berdasarkan akidah Islam dan memiliki kemampuan serta keterampilan yang bisa ia gunakan untuk kehidupannya sendiri maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga mereka siap menjadi pemimpin dimasa mendatang yang akan memberi sumbangan yang besar bagi kemajuan peradab suatu bangsa di mana mereka hidup.

Anak unggul tidak lahir begitu saja seperti membalikkan telapak tangan. Namun lahirnya anak unggul membutuhkan suatu proses pendidikan yang berkesinambungan (“dari buaian sampai ke liang lahat”) yang membutuhkan kerjasama dari berbagai komponen yaitu keluarga, sekolah, masarakat dan negara. Keberhasilan suatu tahapan pendidikan perlu diikuti oleh tahapan berikutnya sehingga akan dapat mewujudkan anak yang unggul yaitu anak yang memiliki kepribadian Islam.

Tahap Pendidikan Anak

Tahap pendidikan anak dibagi atas tiga periode. Periode pertama, yakni usia dini. Periode ini adalah tahap pembentukan konsep diri dan pemberian rangsangan (stimulan). Konsep diri anak yang ditanamkan sejak dini adalah anak unggul (sholeh, cerdas dan sehat). Penanaman konsep diri sebagai anak unggul akan memberi nilai positif bagi anak sebagai tabungan energi (motivasi) untuk tampil sebagai individu yang percaya diri dan memiliki positive thingking dan feeling (perasaanpada anak usia dini penting untuk mempermudah dalam memberikan stimulan pada anak dan mempermudah proses pembentukan syakhsiyah Islam sesuai dengan tahap perkembangan anak. Konsep diri sebagai anak unggul tercipta melalui pemberian motivasi-motivasi positif kepada anak sejak dini usia.

Penanaman konsep diri yang positif agar menjadi anak unggul ini telah dicontohkan baginda Rasulullah Muhammad Saw. Beliau dikenal sangat perhatian terhadap anak-anak. Sampai-sampai diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata, "Suatu hari aku sedang bersama anak-anak. Tiba-tiba muncul Rasulullah SAW dan berkata, 'Assalamualaikum, hai anak-anak'."

Rasulullah pun senantiasa memberikan label-label positif untuk mendidik para generasi sahabat terdahulu. Adalah Abdullah bin Umar yang tidak pernah menegakkan sholat malam, lalu Nabi bersabda 'Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah, jika ia melaksanakan sholat malam.' Apa yang terjadi? Sesudah itu Abdullah pun banyak mengerjakan sholat malam dan tidur hanya sebentar.

Subhanallah. Sebuah ungkapan positif yang luar biasa yang mampu memotivasi seseorang tanpa menjatuhkan mental dan harga dirinya. Tentu akan berbeda dampaknya jika kepada Abdullah bin Umar waktu itu dikatakan ‘kamu ini laki-laki yang buruk karena tidak pernah sholat malam.’ Bisa jadi, Abdullah bin Umat bukannya terdorong untuk sholat malam melainkan akan semakin malas mengerjakan sholat malam.

Dari Abdullah bin Ja'far RA ia berkata, "Rasulullah Saw pada suatu hari menaikkan saya di belakang kendaraan beliau. Beliau mengatakan suatu rahasia yang tidak saya bocorkan kepada siapapun juga.” Demikian pula yang terjadi pada Anas ra tatkala dia terlambat pulang karena urusannya dengan Rasulullah Saw. Sang ibu bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau terlambat?” Anas menjawab: “rahasia.” Sang ibu berkata: “Jangan sampai engkau buka rahasia Rasulullah Saw kepada siapapun.” Anak itu pun tidak membuka rahasia kepada ibunya. Ia juga menyimpan rahasia dari Tsabit yang biasa mendengar hadits darinya. Anaspun berkata kepada Tsabit: “Demi Allah Swt, jika saya telah menyampaikan rahasia itu kepada seseorang niscaya saya pasti mengatakan kepadamu.”

Begitulah, kepercayaan yang diberikan Rasulullah Saw kepada seorang anak untuk menyimpan rahasia tidak lain adalah untuk membangun rasa percaya diri pada sang anak. Anak merasa dihargai dan dianggap orang penting karena dijadikan tempat untuk menyimpan rahasia penting.

Rasulullah menanamkan rasa percaya diri pada anak dan rasa tanggung jawab memikul suatu amanah. Rasulullah tidak pernah mencela, tetapi selalu menanamkan konsep diri yang positif kepada anak-anak sehingga terlahir generasi yang berkepribadian kuat dan memandang kehidupan dengan penuh optimisme. Contoh anak-anak unggul yang lahir pada era Islam: Abdullah bin Umar, Hasan dan Husein, Abdullah bin Zubair, Usamah bin Zaid, Hubaib bin Zaid, Dirwas bin Hubaib, Iyas bin Muawwiyah, dll.

Dengan demikian, besarkanlah buah hati kita dengan memberikan label-label positif seperti anak sholeh, anak pintar, anak hebat, anak yang baik, anak yang sabar, anak yang penurut, anak yang rajin, ayo kamu pasti bisa, dll. Sebaliknya, jangan menjatuhkan mental anak dengan memberi label-label negatif seperti dasar anak bodoh, anak nakal, anak cengeng, anak bandel, anak badung, sudah besar masak nggak bisa sih, kamu nggak bakalan bisa, alaaah paling juga gagal, jangan coba-coba nanti jatuh, nggak usah membantu malah bikin berantakan, dll. Suatu hal yang berbahaya bila memberikan label-label negatif kepada anak usia dini karena akan melekat terus di benaknya dan terekam hingga ia dewasa. Hal itu akan menghancurkan masa depannya kelak.

Penanaman konsep diri yang positif perlu diikuti dengan pemberian rangsangan (stimulasi) terhadap semua indera anak dengan meberikan informasi yang dikaitkan dengan fakta berdasarkan tahap perkembangannya. Usia 0-2/3 tahun anak belum dapat melakukan komunikasi dua arah sehingga belum bisa memperoleh feedback yang seimbang. Sehingga hal yang harus menonjol dilakukan adalah pemberian informasi dan fakta yang sebanyak-banyak pada anak. Anak sudah dibiasakan mendengarkan ayat-ayat alqur’an dan kalimat-kalimat uang baik (kalimah thoyyibah), berbagai bentuk dan warna. Selain itu perkembangan motorik yang terjadi baru motorik kasar sambil mengasah motorik halus. Suatu hal yang wajar bila anak masih sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam melakukan perbuatan yang terkait dengan gerakan motorik. Usia 2/3-4/5 tahun, anak sudah bisa diajak berkomunikasi dan bisa dirangsang daya nalar dan daya imajinasi. Usia ini anak sudah memiliki perkembangan gerakan motorik halus yang baik sehingga sudah bisa diajak melakukan perbuatan-perbuatan dengan benar, misalnya sholat, berwudlu, makan dengan tangan kanan, membuang sampah dengan benar, dll. Saat ini anak sudah bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan disiplin sikap. Periode 4/5 tahun – 6 tahun anak sudah bisa memberikan hujjah/alasan terhadap kesalahan yang dilakukannya. Pada saat ini anak sudah bisa diajak berdialog untuk mengungkapkan pendapat dan perasaanya sambil diikuti dengan meluruskan alasan yang benar dan tepat tetapi tidak dengan cara memaksakan apalagi kekerasan fisik.. Fase ini anak sudah mulai diajak melakukan perbuatan dengan benar dan tepat dan dimulai menerapkan disiplin waktu, misalnya melaksanakan sholat tepat waktu.

Periode kedua adalah tahap pra-baligh, yakni pada usia nyasekolah dasar hingga memasuki usia baligh. Periode ini merupakan tahap latihan dan pendisiplinan bagi anak agar menjadi anak unggul.. Pada masa ini anak sudah mulai terbiasa melakukan suatu aktivitas dengan benar dan tepat dan sudah bisa menerapkan perbuatan yang terkait dengan disiplin waktu. Bila masih melakukan kesalahan dengan sengaja orangtua sudah bisa melakukan pemberian sanksi bertujuan melatih anak untuk sudah terikat dengan suatu aturan. Rasulullah Saw telah bersabda: “Perintahlah anak-anakmu shalat di usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat di usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur anak satu dengan yang lainnya.” Pemberian sanksi berupa pemukulan hanya diberlakukan bagi pelanggaran kewajiban bukan terhadap yang sunnah dan mubah. Itupun dilakukan dengan sebelumnya telah melatih anak melakukan sholat pada usia 7 tahun.

Periode ketiga, yakni usia baligh hingga dewasa. Tahap ini merupakan periode pematangan dan penguatan kualitas anak unggul. Pada usia ini seorang anak harus sudah siap menerima kewajiban-kewajiban sebagai seorang mukaalf (orang yang dibebani hukum). Anak sudah dengan sukarela menjalankan sholat, menutup aurat, mengaji, dan berbagai kewajiban lainnya tanpa paksaan. Anak sudah memiliki kesadaran akan hakikat hidup dan posisinya sebagai hamba Allah Swt. Anak sudah memiliki kepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikapnya sudah terbentuk sesuai dengan standar Islam. Periode ini akan dapat dilalui oleh seorang anak dengan mudah jika pondasinya sudah ditanamkan pada masa usia dini dan telah dibiasakan pada usia pra-baligh.

Dengan demikian, tampak jelasnya pentingnya pendidikan usia dini bagi perkembangan anak pada tahap-tahap kehidupan sesudahnya. Jika pendidikan pada usia dini ini sukses, maka insya Allah akan mampu mengantarkan anak menjadi pribadi yang unggul, harapan orang tua, umat dan negara.

Pelaku Pendidikan Anak Dini Usia

Keberhasilan pendidikan anak usia dini tergantung pada peran serta semua komponen yang terlibat di dalamnya, yakni keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat dan negara.

1. Keluarga

Orang tua adalah madrasah (sekolah) pertama dan utama bagi anak, terutama ibunya. Dari ibunyalah anak belajar merasakan kehangatan, kasih sayang dan berbagai rangsangan. Anak adalah amanat Allah Swt yang tak ternilai harganya. Kesucian jiwa seorang anak merupakan pertaruhan bagi setiap orang tua agar tak ternoda. Oleh karena itu, setiap perkembangan jiwa dan raga anak harus menjadi perhatian serius setiap orangtua. Jangan sampai kesucian jiwa anak terkontaminasi oleh virus-virus kemungkaran yang dapat merusak akidahnya, pendidikannya, akhlaknya dan masa depannya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, majusi dan nasrani” (HR.Muslim)

Salah satu caranya adalah dengan menanami jiwa mereka yang masih suci dan polos dengan akar akidah ketauhidan, ditaburi benih-benih akhlak yang mulia, disirami kasih sayang, dan dipenuhi limpahan perhatian. Insya Allah mereka akan menjadi anak yang sholeh. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka mempersiapkan generasi yang tangguh dan berkualitas.

Rasulullah melakukan itu semua, karena anak merupakan buah hati dan makhluk suci. "Anak adalah 'buah hati', karena itu termasuk dari bau surga" (HR Tirmidzi) Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri). Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan dia asuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga.” (HR Al Bukhary).

Imam Al-Ghazali berkata, “Anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan diakhirat. Kedua orangtuanya semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orang tuanya.”

Pendidikan yang baik merupakan pemberian terbaik orangtua kepada anak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” (HR.At-Tirmidzy)

Pentingnya pendidikan bagi anak oleh orang tua juga ditegaskan shahabat 'Aly bin Abi Thalib r.a; “Ajarilah anak anakmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu.” Maknanya, orang tua harus mengajarkan segala hal kepada anak agar ia kelak siap menghadapi tantangan zaman yang senantiasa berubah.

Orang tua memiliki kelebihan dalam mendidik anak karena dapat dilakukan sepanjang waktu dan disertai kasih sayang. Berbeda dengan pendidikan di sekolah di mana waktunya terbatas dan tidak disertai kasih sayang hakiki. Kasih guru kepada muridnya tentu berbeda dengan kasih orang tua kepada anaknya.

Pada usia dini (terutama 1-3 tahun) seringkali anak sudah dilibatkan dalam kegiatan sekolah yang disebut preschool atau play group. Bahkan akibat gencarnya gerakan wanita karier, tidak sedikit anak-anak di bawah 1 tahun (baca: bayi) sudah harus diasuh di sekolah-sekolah (tepatnya penitipan anak). Ini bisa berdampak kurang baik bagi perkembangan anak.

Penelitian menunjukkan, anak yang tidak diasuh ibunya mempunyai keterbelakangan mental psikologi bila dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ibunya. Di dalam penelitiannya Rene Spitz membandingkan perkembangan bayi yang diasuh di penitipan anak dan bayi yang lahir di penjara namun mendapat perawatan ibunya. Rene menemukan bahwa unsur kelekatan antara ibu dan anak ternyata memegang peranan penting, di mana anak di penitipan anak terlihat depresi mental dan kurang kasih sayang. (Rene Spitz dalam Roberta Berr, 1985).

Selain itu, Bronfenbrenner dalam penelitiannya di Amerika Serikat membuktikan, anak-anak yang pernah memasuki penitipan anak dalam kesehariannya akan bersosialisasi dengan kawan sebayanya saja, sehingga mempunyai sikap lebih agresif, egosentris dan impulsive dibanding anak-anak yang mendapat perawatan di rumah. (Roberta Berr, 1985). Karena itu, wajib bagi ibu untuk mendidik anak-anak di rumah pada usia dini karena memang itulah tugas seorang ibu.

Bagaimana pola pengasuhan dan pendidikan anak ini? Pengasuhan anak di keluarga umumnya berlangsung dalam lingkungan yang over protectif dari ibunya. Akibatnya anak menjadi kurang kreatif dan bersifat menunggu. Menurut Parsons, dalam differensiasi peranan antara orang dan anak kadangkala orang tua memakai sumbu vertikal di mana ibu/bapak adalah leader dan anak adalah follower (Parsons, 1992). Di sini posisi anak dipandang semata-mata sebagai obyek yang tidak berdaya, harus menurut dan sederet sebutan yang memandang anak pada posisi lemah. Pendidikan yang berorientasi pada orang tua (parents perspective) ini sangat tidak menguntungkan bagi tumbuh kembang anak.

Pendidikan dan pengasuhan anak yang harus dikembangkan dalam upaya mengembangkan kreativitas dan tumbuh kembang anak usia dini adalah children perspective, yakni pendidikan yang berpusat pada anak. Ini akan membuat anak sejak usia dini sudah mengenal rasa tanggung jawab, empati dan tidak pemalu (karena pendapatnya didengar atau diterima). Mengapa harus demikian? John Bolby mengatakan, pada dasarnya praktik pengasuhan anak selalu ditandai dengan adanya attachment yaitu interaksi yang terjadi antara ibu dan anak dalam rangka pemenuhan kebutuhan anak. Pada usia dini, anak memang sepenuhnya akan menyandarkan diri dalam memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan anak yang terpenuhi akan menjadikan rasa aman sehingga membentuk rasa percaya diri (John Bolby dalam Elizabeth B Hurlock, 1990)

2. Sekolah

Sedangkan usia 4-6 tahun anak-anak biasanya duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak (TK). Karena itu, selain keluarga, sekolah di mana anak-anak usia dini ini berada sangat berperan dalam membentuk konsep diri anak. Untuk itu sekolah harus memiliki visi dan misi untuk membentuk anak unggul, bukan hanya cerdas dari sisi IQ semata, melainkan anak sholeh dan sehat. Para pembina di sekolah, terutama guru yang paling intens berinteraksi dengan anak harus memahami konsep-konsep pendidikan anak usia dini selaras dengan apa yang dipahami orang tua di rumah. Dengan demikian tidak terjadi kerancuan pemahaman bagi anak dan tidak terjadi dikotomi antara ‘pelajaran’ di rumah dengan pelajaran di sekolah. Ini penting untuk menciptakan figur orang tua sebagai guru di rumah. Umumnya, anak yang sudah mengenal pendidikan sekolah akan lebih percaya pada gurunya dibanding orang tuanya dalam hal pembelajaran. Ini yang harus diubah.

Di masa usia TK ini pula anak-anak tidak seharusnya diwajibkan untuk belajar ‘serius’, tetapi harus sambil bermain. Penelitian Kemajuan Belajar Anak SD di DKI Jakarta yang dilakukan Universitas Indonesia (1981) menunjukkan, anak usia TK yang diforsir dengan belajar dan belajar memiliki dampak yang tidak menguntungkan. Mungkin saja anak-anak cepat pintar pada usia TK, dan kemudian pintar pada kelas 1, 2 dan 3, namun makin lama menjadi makin tidak pintar di kelas yang lebih tinggi. Ini karena anak usia TK belum siap dengan sistem belajar yang serius sehingga kelak timbul kejenuhan, meskipun dia sudah bisa ‘dididik’.

Karena itu, proses belajar di TK haruslah dengan sistem bermain. Sebab penelitian tersebut membuktikan, mereka yang kebutuhan bermainnya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi, untuk menjelajahi dunia lebih lanjut dan menjadi manusia yang memiliki kebebasan mental untuk tumbuh kembang sesuai potensi yang dimilikinya. Ia terlatih untuk terus menerus meningkatkan diri mencapai kemajuan.

Ada dua pendekatan dalam metode pembelajaran di TK. Pertama, pendekatan yang berpusat pada guru (teacher oriented) di mana guru berperan mengajarkan anak, anak sebagai pendengar (pasif). Pada pendekatan pertama ini guru kurang memberikan kesempatan pada anak untuk berpikir, kurang memberi kesempatan pada anak untuk mengekspresikan perasaannya dan menemukan pemecahan masalahnya sendiri. Anak-anak lebih banyak duduk di bangku mendengarkan penjelasan guru. Guru hanya memfokuskan diri pada kurikulum. Guru berasumsi bahwa anak adalah ibarat botol kosongd an guru mengisi botol tersebut dengan berbagai informasi yang sudah matang.

Kedua, pendekatan yang berpusat pada anak (children oriented), di mana guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran anak (anak yang aktif). Pada pendekatan ini guru berpegang pada panduan kemampuan yang akan dicapai anak. Di sini guru memberikan kesempatan pada anak untuk mengutarakan pengalaman dan perasaannya melalui berbagai interaksi antara guru dengan anak atau antarsesama anak. Pengaturan bangku kelas tidak seperti di sekolah, terkadang dibuat lingkaran, dalam kelompok kecil dan terkadang di tikar atau halaman luar. Sehingga anak dengan bebas dapat melakukan apapun, memegang atau menulis dengan caranya sendiri dan menguraikan pengalamannya sendiri.

3. Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat tempat tinggal anak adalah tempat anak menyerap informasi, fakta dan belajar bahasa. Tempat di mana anak bergaul dan bersosialisasi ini turut mendukung terwujudnya konsep diri anak yang unggul. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kesadaran penuh untuk memberikan suasana yang kondusif bagi perkembangan mental anak.

Lingkungan sekitar anak usia dini haruslah dapat menciptakan kebutuhan untuk mengeksplorasi diri secara aman, tersedianya kesempatan bermain yang beragam dan sesuai dengan perkembangannya. Semakin dini usianya maka semakin besar kebutuhannya akan ruang yang dapat dieksplorasi secara fisik.

Selain itu, lingkungan harus turut mendukung terciptanya nilai-nilai tauhid dalam diri anak dan pembiasaan-pembiasaan yang baik bagi perkembangan ruhiyahnya. Lingkungan yang penuh dengan kemaksiatan jelas akan berbahaya bagi perkembangan mental anak. Misalnya lingkungan yang menjadi pusat perjudian atau mabuk-mabukan.

4. Negara

Negara wajib memberikan fasilitas bagi terselenggarakannya pendidikan anak usia dini, khususnya agar anak dapat mengeksplorasi lingkungan dengan aman dan nyaman. Misalnya dengan membangun sarana-sarana bermain anak yang memadai. Selama ini, akibat pembangunan seringkali lahan bermain anak-anak menjadi korban. Lapangan, taman atau kebun tempat bermain semakin minim, khususnya di kota-kota besar. Kalaupun ada taman bermain, harus membayar dengan biaya yang tidak sedikit.

Negara juga wajib menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung bagi optimalisasi pendidikan anak usia dini. Antara lain memberikan penyuluhan akan pentingnya PAUD, meningkatkan kualitas para ibu dan instansi yang berkaitan dengan PAUD, memberikan kesempatan kepada para wanita (kaum ibu) untuk mendidik anaknya sendiri tanpa harus dibebani tugas mencari nafkah, dll. Negara juga harus mengontrol berbagai hal agar mendukung pelaksanaan tugas-tugas para ibu secara optimal.

Bukan itu saja, negara juga wajib menjamin kecukupan pangan bagi masyarakatnya agar anak usia dini tidak menjadi korban, misalnya malnutrisi atau menjangkitnya penyakit yang menyerang anak usia dini. Karena itu, fasilitas kesehatan yang murah wajib diberikan kepada masyarakat.

Dengan sinergi antara keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat dan negara dalam perannya masing-masing, insya Allah penanaman konsep anak unggul pada anak usia dini dapat dilakukan tanpa hambatan. Dengan demikian hasilnya dapat dipanen di masa mendatang.


Artikel ini telah dipubkikasikan pada Sunday, 11 May 2008.

Sumber : http://www.tokoislamonline.com/article_info.php?articles_id=4

Tidak ada komentar: